Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari
Sesosok bayangan tampak mengendap-endap merambat pelan di antara pepohonan yang tumbuh di bukit itu. Tak lama di depannya tampak pemandangan yang tetap saja menumbuhkan bulu romanya kendati ia telah berharap keadaan seperti itu akan ia temui.
Di bawah sinar bulan yang hampir penuh tampak beberapa sosok manusia kaku berdiri dalam lubang masing-masing. Diam tertotok. Hanya dari helaan napas dan kerlingan mata dapat terlihat bahwa beberapa mereka masih hidup. Terdapat pula sosok yang telah kaku dan dingin. Dari bagian tubuhnya terdapat lubang sebesar jempol yang telah kering darahnya. Terlihat bahwa air kehidupannya telah dialirkan sampai habis keluar, mengikuti tarikan bumi.
Beberapa kerlingan mata dan desahan napas lebih keras dari orang-orang kaku berdiri yang masih hidup tidak diindahkan oleh sosok itu. Seorang pemuda. Reiche. Ia masih ingat akan niatnya. Ia perlu saksi. Dan saksi mata dengan hanya mengetahui sedikit mungkin lebih baik dari yang bebas. Oleh karena itu ia tidak membebaskan totokan mereka melainkan hanya menenangkan dengan anggukan kepala dan memberitahu dengan isyarat seakan-akan berkata bahwa ia akan membereskan masalah itu dan menolong mereka kemudian.
Reiche pun berjalan pelan, melewati pepohonan yang kemudian membawanya kepada sebuah ruang terbuka yang agak luas di mana seorang bertubuh subur dan besar tampak bersila dan menggerakkan kedua tangannya. Buliran-buliran air kehidupan berwarna merah tampak bergerak liar di udara meliuk-liuk mengelilingi tubuhnya dan akhirnya mengendap masuk melalui kedua telinganya. Sejenak mata orang menjadi merah sama sekali, bersinar dan kemudia meredup untuk kembali menjadi normal.
Ia pun membuka matanya demi melihat orang yang mengendap datang di hadapannya, "Ah.., Reiche! Engkau datang untuk melihat kepulihanku dan tenaga baru yang berhasil aku kumpulkan ini?"
Reiche diam seribu bahasa. Ia masih berpikir apa yang harus dijawabnya sehingga gurunya Panutu tidak curiga dan menggagalkan rencananya. Ia pun kemudian mengangguk.
"Orang-orang dari desa datang.. mereka sudah menunggu tak jauh dari sini..," ucapnya lirih agar orang-orang yang kaku tertotok tidak bisa mendengarkannya.
Mendengus Panutu mendengar hal itu. "Tak usah engkau pikirkan mereka, aku bisa mengatasi mereka setelah tahap akhir ini pulih. Sisa orang-orang itu bisa untuk engkau," ucapnya terbahak.
"Tapi aku tidak menginginkannya guru. Guru sebaiknya menghentikan ini, ini tidak benar!" kali ini ia mengucapkannya dengan lantang. Sudah tentu dengan maksud agar ucapannya itu terdengar.
"Sudah tidak usah banyak bacot! Angsurkan wadah terakhir itu ke sini.. atau engkau jadi yang berikutnya?" ucapnya bengis. Hilang sudah keramahannya. Pengaruh air kehidupan telah membuatnya haus. Orang yang tidak setuju dengannya adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk menambah kekuatannya. Demikian pula dengan muridnya sendiri.
Tanpa bersuara Reiche mengangsurkan wadah berisi cairan merah itu dan menunggu kesempatan bagi dirinya.
Panutu yang sudah dirasuki keingingan untuk mendapatkan kesembuhan ditambah dengan tenaga yang berlipat ganda menjadi tidak wasapa terhadap perubahan sikap Reiche yang agak berani membantah. Ia menerima wadah tersebut dan memulai lagi tahap akhir latihan penyembuhannya. Ia pun menutup mata dan mulai memusatkan pikiran.
Dan kembali berlangsung keheningan saat gumpalan-gumpalan air kehidupan mulai bergolak liar dan membumbung gaman di udara. Menari kesana-kemari. Dan dengan dengusan napas keras, gerakan terakhir aliran kemerahan itu membumbung, menukik dan mulai masuk ke dalam mulut, lubang hidung dan telinga Panutu. Pada saat akhir itu, tepat sebelum ia sempat mengunci pusat tenagannya di bawa pusar, ia merasakan adanya suatu benda dingin menyeruak punggungnya, tepat di pusat putaran tenaga tulang belakang. Tak bisa dicegah aliran tenaga dari tubuhnya, dan juga aliran yang baru saja ia masukkan mengalir deras keluar. Bobol. Dan sebelum ia bisa berkata apa-apa pandangannya gelap dan ia pun tersungkur. Mati. Dalam kejap terakhirnya dapat ia menduga siap yang melakukannya itu. Tapi semua sudah terlambat.
0 comments:
Kommentar veröffentlichen