Air Lawan Api
"Jadi itu sebabnya masa seratus hari itu penting, guru?" tanya Arme berusaha meyakinkan apa yang baru saja diceritakan oleh gurunya itu.
Pambuka mengangguk. "Benar! Oleh sebab itu aku minta engkau mendengar-denger apa yang terjadi dalam seratus hari ini sejak aku terluka kemarin," jawabnya.
Mengangguk-angguk Arme mendengar penjelasan Pambuka. Terjawab sudah sedikit keinginantahuannya mengapa dalam masa tersebut ia harus memperhatikan kabar-kabar di sekelilingnya.
"Sekarang tidurlah, aku akan matikan apinya!" ucap Pambuka.
"Mangapa harus dimatikan, guru?" tanya Arme ingin tahu. Ia tidak takut tetapi akan lebih nyaman tentunya tidur dengan api yang menyala dekat mereka.
"Tubuh saat tidak terkena cahaya akan mengeluarkan zat-zat yang diperlukan untuk mengobati bagian-bagian yang rusak. Melantonin orang sebut zat itu. Beberapa pengujar telah mengamati dan mencatat hal itu. Selain itu udara hasil pembakaran ini tidak baik bagi paru-paru kita. Tidak sadar kita akan menghirupnya secara dalam saat kita tidur," jelas gurunya.
Arme mengangguk mendengar penjelasan gurunya. Penjelasan yang masuk akal.
Mereka pun kemudian merebahkan tubuhnya. Hanya saja Arme tidak dapat langsung tidur. Bukan disebabkan oleh situasi di mana mereka berada, melainkan cerita yang baru saja dilantunkan oleh Pambuka, gurunya. Suatu cerita yang membuatnya semakin bersemangat untuk belajar beladiri lebih lanjut. Saat ini ia baru belajar ilmu untuk menghindari serangan dan sedikit menyerang dari guru bersama ia dengan Reiche. Ia ingin bener-benar belajar ilmu beladiri sebenarnya sehingga bisa sehebat gurunya, Pambuka.
"Alam ini dipercaya oleh para pengujar tersusun atas empat elemen. Air, api, udara dan tanah begitu mereka menamakannya," jelas gurunya tadi. "Atas elemen-elemen itulah para pengujar beladiri menggubah ilmu-ilmu mereka, menirukan sifat-sifat alam dan mengejawahntahkannya dalam gerak tubuh dan aliran tenaga dalam."
Arme mendengarkan dengan tekun uraian tersebut. Falsafah yang mendasari gerakan beladiri ternyata memukai hatinya, jauh melebihi ujar-ujar akan sikap hidup dan juga ilmu sastra yang selama ini dipelajarinya di perguruan tulis-menulis. Ilmu beladiri ternyata tidak hanya buk-bak-bik-buk dengan kepalan dan tendangan belaka. Ada pemikiran yang melandasi mengapa gerakan ini begini dan mengapa begitu. Sudah tentu di samping kegunaannya yang ringkas dalam menyerang dan bertahan.
"Ilmuku lebih bersumber pada elemen udara atau juga sering disebut angin. Juga ilmu yang engkau pelajari. Dengan memanfaatkan sifat-sifat udara orang dapat berberak dengan bebas tanpa beban. Lihatlah udara di sekeliling kita ia bergerak bebas ke atas ke bawah tanpa harus mengeluarkan tenaga," jelas gurunya lagi. "Selain itu aku juga memiliki ilmu berdasarkan elemen air. Hal-hal yang mengalir dan juga bersifat dingin. Atas dua unsur inilah ilmu yang aku miliki dikembangkan dulu kala oleh guru dari guru dari guruku, Rancana si Bayangan Menangis Tertawa."
Bagi Arme menjadi semakin jelas bahwa Menanti Mata Berkedip adalah bentuk dasar dari ilmu menghindar menggunakan sifat udara. Bila aliran hawa udara telah dimiliki tidak lagi seseorang perlu menanti mata lawannya untuk berkedip. Perbedaan tarikan napas atau perubahan lainnya yang menandakan seseorang sekejap tidak dapat memantau lawannya, segera dapat dimanfaatkan untuk menghilang dan bersembunyi di balik sudut mati mata. Untuk pemula, memang Arme sebaiknya mengamati mata.
"Banyak variasi dari keempat elemen dengan takaran-takaran yang berbeda. Dari sifat-sifat tersebut turunlah berbagai jenis ilmu beladiri dan juga ilum-ilmu lain. Termasuk di dalamnya adalah tulis-menulis yang engkau pelajari itu," ucap gurunya kemudian.
Demi melihat bahwa Arme tampak tak percaya bahwa ilmu tulis-menulis memilki kekerabatan yang tidak jauh dari ilmu beladiri Pambuka hanya tersenyum, lalu tambahnya, "Untuk yang satu ini aku tidak dapat menjelaskan. Suatu saat engkau akan bertemu dengan guru lain yang mungkin bisa menjelaskannya."
"Guruku, dari hasil pencariannya kemana-mana dan berlama-lama dalam akhir hidupnya, berhasil menciptakan apa yang disebut sebagai pukulan Seratus Hari. Suatu pukulan yang tidak ramah terhadap lawan yang terluka karenanya. Dengan pukulan ini seseorang akan mencari tahu unsur elemen apa yang dipunyai lawan, yang menjadi bagian terbesarnya, dan melawannya dengan elemen lawannya. Engkau tahu lawan air adalah api dan lawan udara adalah tanah," berkata Pambuka. "Musuh yang terluka memiliki waktu seratus hari untuk sembuh atau tidak sama sekali."
"Dan.. guru telah bertarung menggunakan pukulan itu? Sehingga lawan guru terluka dan...," ucap Reiche tak dapat membayangkan seseorang yang bergulat dalam mempertahankan nyawanya dalam seratus hari.
"Benar! Tapi tidak hanya itu, lawanku itu pun telah memuntahkan pukulan yang sama terhadapku," jawab gurunya sambil terlihat agak murung, "Kami sama-sama terluka dan hanya punya waktu seratus hari untuk sembuh atau pergi dari dunia ini."
"Jika ilmu guru berdasarkan elemen air dan angin, berarti lawan guru itu.. air dan..," tebak Arme.
"Tidak harus mutlak lawan dari keduanya. Bisa salah satu saja. Sejujurnya lawanku itu adalah adik perguruanku sendiri," ucap Pambuka sedih. "Kami sama-sama mewarisi gerakan-gerakan berdasarkan elemen angin dari guru kami akan tetapi jika aku kemudian mempelajari elemen air yang juga merupakan ilmu guru, dia mempelajari elemen api yang entah diperolehnya dari mana. Ia mendengar bahwa api dapat mengalahkan air dan ia ingin mengalahkanku."
Termenung sejenak Pambuka. Kisah masa lalunya tidak terlalu mengggembirakan untuk diceritakan. Atau setidaknya ia tidak bangga akan hal itu.
"Mengapa kami bersaing, sebaiknya tidak aku ceritakan. Itu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku menurunkan ilmuku kepadamu," ucapnya kemudian setelah berpikir sejenak. Agak muram wajahnya ketika mengingat penyebab perseteruannya.
Terdiam Arme mendengarkan penjelasan gurunya. Itu rupanya salah satu sisi buruk ilmu beladiri. Saudara seperguruan yang bagai saudara bisa baku hantam karena suatu hal. Tapi ia tidak segera bisa menilai. Ia tidak tahu apa sebab tersebut.
"Jelasnya, ia menggunakan Pukulan Meriam. Memuntahkan hawa api ke dalam tubuh lawan. Menggetarkan isi perut dan jantung. Aku telah berusaha menghindar dengan Bulu Angsa Dihembus Angin, gerakan terakhir dari Menanti Mata Berkedip," terang Pambuka, "Dengan mengulang-ulang gerakan yang sama sehingga ia terus menerus mengeluarkan Pukulan Meriam, ia menjadi tak siap saat aku menghindarinya. Menyelinap masuk dan memberikan totokan-totokan ke tubuhnya. Menyalurkan tenaga air untuk merusak aliran hawa api miliknya. Ia berhasil kulukai setelah sebelumnya aku sendiri terluka."
"Lalu di mana seratus harinya, guru?" tanya Reiche ingin tahu. Ia tidak melihat kaitan dari nama itu dengan serangan-serangan gurunya.
"Menggunakan elemen berlawanan dalam menyerang adalah sudah unsur pukulan Seratus Hari, tapi dimasukkan sehingga lawan terluka. Keras lawan keras," jelas gurunya. "Aku terkena akibat Seratus Hari karena ingin menjebaknya sedangkan ia terkena akibat tak siap mengunci hawa totokanku."
Mengangguk-angguk Arme mendengarkan penjelasan gurunya. "Jadi Air lawan Api...," ucapnya tanpa sadar.
"Tepat!!" ucap gurunya. Senang ia melihat bahwa muridnya telah dapat menangkap apa yang ia ceritakan.
Tanpa terasa Arme membayangkan bagaimana gurunya dan sang lawan bertarung. Berkelebat sana-sini serta saling lempar pukulan dan tendangan sampai keduanya terluka. Tanpa sadar ia pun mengantuk dan akhirnya tertidur.
0 comments:
Kommentar veröffentlichen